Wednesday, May 5, 2010

Persaudaraan Dalam Islam

Rabu, 21 Jamadilawal 1431H ; “Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara kerena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat. ”(Al-Hujurat : 10).

Semua muslim adalah bersaudara. Karena itu, jika bertengkar mereka harus bersatu kembali dan bersaudara seperti biasanya. Hal ini diperkuat oleh larangan Rasulullah SAW terhadap permusuhan antara muslim. Abu Ayyub Al-Anshary meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak seorang muslim memutuskan silaturrahmi dengan saudara muslimnya lebih dari tiga malam yang masing-masingnya saling membuang muka bila berjumpa. Yang terbaik diantara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam kepada yang lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Persaudaraan yang dimaksudkan adalah bukan menurut ikatan geneologi, tapi menurut ikatan iman dan agama. Hal tersebut diisyaratkan dalam larangan Allah SWT mendoakan orang yang bukan Islam setelah kematian mereka. Firman Allah SWT : “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun (kepada Allah SWT) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya.” (At-Taubah : 113).

Ini sama sekali tidak bererti bahwa seorang muslim diizinkan mengabaikan ikatan keluarganya walaupun dengan kerabat non muslim. Dasar kebajkan kepada orang tua dan keluarga dapat ditemukan dalam Al-Qur’an sendiri. Firman Allah SWT : “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua ibu bapaknya.” (QS. Al-Ankabut )

Mengutamakan persaudaraan Islam lebih dari yang lain sama sekali tidak mempengaruhi ikatan darah, biarpun dengan kerabat non-Muslim. Nabi SAW menekankan pentingnya membangun persaudaraan Islam dalam batasan-batasan praktis dalam bentuk saling peduli dan tolong menolong. Sebagai contoh, Beliau bersabda, “Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya” (H.R. Muslim).

Bodoh sekali seorang muslim yang mengharapkan belas kasih khusus dari Allah SWT jika ia tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan muslim lainnya. Sebagai akibatnya, persaudaraan kaum muslim tidak saja merupakan aspek teoritis ideologi Islam, tapi telah terbukti dalam praktek aktual pada kaum muslim terdahulu (salaf) ketika mereka menyebarkan Islam kepenjuru dunia. Kemanapun orang-orang Arab muslim pergi, apakah itu ke Afrika, India, atau daerah-daerah terpencil Asia, mereka akan disambut hangat oleh orang-orang yang telah memeluk Islam tanpa melihat warna kulit, ras, atau agama lamanya. Tidak ada tempat dalam Islam bagi pemisahan kelas maupun kasta.

Tata cara melaksanakan shalat tidak ada tempat istimewa, dan semua harus berdiri bahu membahu dalam baris-baris lurus. Demikian pula dalam pemilihan imam (pemimpin Shalat) tidak didasarkan status sosialnya dalam masyarakat, namun atas kemampuannya dalam menghafal al-Qur’an. Itulah mengapa seorang imam dapat di tunjuk dari anak yang berusia enam tahun sebagaimana kejadian pada seorang shahabat muda, Salamah. Nabi SAW. mengatakan pada kabilahnya, “Jika waktu shalat tiba, slah seorang dari kalian harus mengumandangkan adzan (panggilan shalat)”. Ketika mereka mencari diantara mereka sendiri, mereka tidak menemukan orang yang tahu tentang Al-Qur’an lebih dari Salamah sehingga mereka menunjuknya sebagai imam walaupun ia baru berusia enam atau tujuh tahun pada saat itu. (Diriwayatkan oleh salamah dan dikeluarkan oleh al-Bukhari, dan Abu Dawud).

Dalam Islam, zakat, berupa kewajiban atas orang-orang kaya atau relatif kaya untuk menyerahkan sebagian dari simpanan tahunan mereka kepada orang-orang miskin, merupakan perwujudan tanggung jawab sosial ekonomi dari persaudaraan itu. Sebab, walaupun kedermawanan amat dianjurkan oleh Islam sebagai mana oleh agama lain, tanggungjawab ini dalam Islam dilembagakan dan dipungut oleh negara untuk menjamin kelangsungan hidup ekonomi orang-orang miskin.

Sebenarnya, semua hukum-hukum ekonomi dalam islam selalu menekankan perlindungan atas hak-hak persaudaraan.Praktek-praktek ekonomi yang dengan suatu cara menarik keuntungan atau merugikan anggota-angota masyarakat adalah terlarang keras.Makanya pinjaman yang diaku dalam Islam adalah pinjaman tanpa bunga, sebab pinjaman dengan bunga pada umumnya mengambil keuntungan yang tidak adil dari orang lainketika mereka dalam posisi yang secara ekonomis lemah.

Demikian pula pilar terbesar Islam, haji, yang mengandung esensi pilar-pilar lainnya, menekankan persaudaraan orang-orang beriman dalam semua ritus-ritusnya. Pakaian bagi orang-orang laki-laki yang sedang haji, dikenal dengan Ihram terdiri dari dua lembar kain, selembar dipakai seputar pinggang, selembar yang lain diselempangkan di atas bahu. Kesederhanaan pakain in dikenakan oleh jutaan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia menunjukan hakekat persatuan dan persamaan dalam persaudaraan Islam.

Keaslian prinsip persaudaraan yang meliputi segala ritual keagamaan dan hukum-hukum dalam Islam telah dan terus menjadi faktor kunci dalam menarik manusia di seluruh dunia untuk masuk Islam. Namun, patut dicatat, bahwa prinsip persaudaraan ini telah ditantang dalam prakteknya oleh munculnya nasionalisme diantara kaum muslimin. Walaupun para ulama dengan tegas menentang segala bentuk tribalisme (kesukuan), nasionalisme dan rasisme. Nasionalisme telah ditimbul dikalangan kaum muslim setelah tumbangnya generasi awal (salaf) Berabad-abad setelah wafatnya Nabi saw, nasionalisme arab, Persia dan Turki meruntuhkan umat muslim ketika kepemimpinan terus berpindah tangan diantara mereka selama masa-masa itu.

Bentuk awal nasionalisme ini kemudian diperberat oleh kolonialisme Eropa yang meninggalkan umat Islam terpecah belah ke dalam seribu satu kesatuaan-kesatuan nasional yang berskala kecil dan dangkal. Walaupun ikatan umum Islam tetap berlanjut menyatukan umat dalam persaudaraan, pemerintah mereka masing-masing mengeksploitasi segala kesempatan yang dapat membangkitkan perasaan-perasaan nasionalisme agar massa muslim tetap terpecah-pecah, sehingga pemerintahan mereka yang pada sebagian besar kasus anti Islam dapat terus terpelihara.

Kelemahan yang menghentam kehidupan umat Islam sekarang ini, mulai dari runtuhnya khilafah Islamiyah sampai terpencilnya negeri-negeri Islam sehingga harus menjadi bagian dunia ketiga, merupakan satu pertunjuk yang paling jelas menurunnya rasa persaudaraan dikalangan umat Islam itu sendiri. Perpecahan dikalangan umat yang mempunyai kepentingan-kepentingan golongan ikut meluluh lantahkan pilar-pilar persaudaraan itu. Maka kata kunci untuk mampu menegakan Islam di dunia ini, adalah dengan mempereratkan persaudaraan diantara sesama umat Islam dan menyingkirkan jauh-jauh rasa ta’asubiyah (kelompok), dan keyakinan penuh bahwa nasionalisme bukan dari bagian kita sedikitpun.

(Diringkas dari buku, Menolak Tafsir Bid’ah Abu Ameenah Bilal Philips, hal.121-127)Dikutip dari: www.alislam.or.id – www.pakdenono.com

No comments: