Rabu, 20 Safar 1431H : - إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ - "Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in" (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Para ahli qira'at sab'ah dan jumhurul ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya' pada kata 'iyyaka' dibaca dengan memfathahkan huruf nun yang pertama, menurut bacaan seluruh ahli qira'at. Menurut bahasa, kata ibadah bererti tuntuk patuh. Sedangkan menurut syariat, ibadah bererti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.
Para ahli qira'at sab'ah dan jumhurul ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya' pada kata 'iyyaka' dibaca dengan memfathahkan huruf nun yang pertama, menurut bacaan seluruh ahli qira'at. Menurut bahasa, kata ibadah bererti tuntuk patuh. Sedangkan menurut syariat, ibadah bererti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.
Didahulukannya maf'ul (objek), yaitu kata "iyyaka', dan (setelah itu) diulangi lagi, adalah dengan tujuan untuk mendpatkan perhatian dan juga sebagai pembatasan. Ertinya, "Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu." Dan inilah puncak kesempurnaan ketaatan. Dan dien (agama) itu secara keseluruhan kembali kepada kedua makna di atas.
Yang demikian itu seperti kata sebagian ulama salaf, bahwa surat Al-Fatihah adalah rahsia Alquran, dan rahsia Al-Fatihah terletak pada ayat "Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in" (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Penggalan pertama, yakni "Hanya kepada-Mu kami beribadah" merupakan pernyataan lepas dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua, yaitu, "Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekutan serta berserah diri kepada Allah SWT.
Makna seperti ini tidak hanya terdapat dalam satu ayat Alquran saja, seperti firman-Nya, "Maka beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan." (Huud: 123).
Dalam ayat tersebut (Al-Fatihah: 5) terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhathab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf kaf pada kata "iyyaka". Yang demikian itu memang selaras karena ketika seorang hamba memuji kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. oleh karena itu, Dia berfirman, "Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in."
Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pada awal-awal surat Al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah SWT yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.
Dalam shahih Muslim, diriwayatkan dari al-'Ala' bn Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, "Aku telah membagi salat dua bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan, 'Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam', maka Allah berfirman, 'Hambaku telah memuji-Ku'. Dan jika ia mengucapkan, 'Yang menguasai hari pembalasan', maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah memulikan-Ku'. Jika ia mengucapkan, 'Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan', maka Allah berfirman, 'Inilah bagian antara hamba-Ku dan diri-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta'. Dan jika ia mengucapkan,'"Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau enugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nashrani)', maka Allah berfirman, "Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta'."
"Iyya kana'budu" didahulukan dari "wa iyya kanasta'in", karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan merupakan sarana untuk beribadah. Yang terpenting lebih didahuukan dari sekedar penting, wallahu a'lam.
Jika ditanyakan, lalu apa makna huruf nun pada firman Allah SWT, "Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in," jika nun itu dimaksudkan sebagai bentuk jama', padahal orang yang mengucapkan hanya satu orng, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan kondisi?
Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa yang dimaksudkan dengan huruf nun (kami) itu adalah untuk memberitahukan mengenai jenis hamba, dan orang yang salat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang melakukannya secara berjamaah. Atau, imam dalam salat memberitahukan tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang ibadah, yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.
Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia, karena keberpihakannya kepada Allah Ta'ala saja, dan Dia telah menyebut Rasul-Nya sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang mulia. Firman Allah, "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam." (Al-isra': 1).
Allah telah menyebutkan Muhammad saw sebagai seorang hamba ketika menurunkan Alquran kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya, Dia berfirman, "Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (Al-Hijr: 97 -- 99).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi'i
No comments:
Post a Comment