Jumaat, 21 Ramadhan 1430H - Ketahuilah bahwa bahaya lisan (lidah) itu besar sekali, dan manusia tidak akan selamat dari bahaya ini, melainkan dengan bertutur kata yang baik saja.
Nabi s.a.w. telah bersabda: “Tidak akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”
Berkata Mu’az bin Jabal kepada Rasulullah s.a.w.: “Apakah kita akan dihisab juga atas apa yang kita katakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Wahai Mu’az! Tidakkah engkau ketahui bahwa manusia itu akan ditelengkupkan menerusi hidung-hidung mereka disebabkan hasil tuaian lidah-lidah mereka.”
Ibu Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud) r.a. pernah berkata: “Wahai lidah! Sebutkanlah yang baik-baik, niscaya engkau akan dapat faedah. Dan berdiamlah dari berkata buruk, niscaya engkau terselamat sebelum engkau menyesal.”
Sabda Rasulullah s.a.w.: “Barangsiapa yang memelihara lidahnya, Allah akan menutup kecelaannya. Barangsiapa yang menahan kemarahannya, Allah akan melindunginya dari siksaNya. Dan barangsiapa yang menyatakan keuzurannya kepada Allah, Allah akan menerima uzurnya”.
Nabi s.a.w. telah bersabda: “Tidak akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”
Berkata Mu’az bin Jabal kepada Rasulullah s.a.w.: “Apakah kita akan dihisab juga atas apa yang kita katakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Wahai Mu’az! Tidakkah engkau ketahui bahwa manusia itu akan ditelengkupkan menerusi hidung-hidung mereka disebabkan hasil tuaian lidah-lidah mereka.”
Ibu Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud) r.a. pernah berkata: “Wahai lidah! Sebutkanlah yang baik-baik, niscaya engkau akan dapat faedah. Dan berdiamlah dari berkata buruk, niscaya engkau terselamat sebelum engkau menyesal.”
Sabda Rasulullah s.a.w.: “Barangsiapa yang memelihara lidahnya, Allah akan menutup kecelaannya. Barangsiapa yang menahan kemarahannya, Allah akan melindunginya dari siksaNya. Dan barangsiapa yang menyatakan keuzurannya kepada Allah, Allah akan menerima uzurnya”.
Rasulullah s.a.w. juga bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka berkatalah yang baik ataupun berdiam saja”
Sabdanya lagi: “Jagalah lidahmu kecuali bila berkata yang baik. Dengan berlaku demikian engkau akan mengalahkan syaitan.”
Mengumpat orang (ghibah)
Allah s.w.t. telah menaskan celaan mengumpat ini di dalam kitabNya yang mulia, dan telah menyamakan orang yang suka mengumpat itu, dengan orang yang memakan daging saudaranya yang telah mati. Allah telah berfirman: “Dan janganlah setengah kamu mengumpat setengah yang lain, Adakah seseorang kamu suka memakan daging saudarnya yang telah mati, tentulah kamu sekalian benci memakannya.”(al-Hujurat: 12)
Rasulullah s.a.w. pula bersabda: “Setiap orang Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya (tidak boleh membunuhnya tanpa hak), haram hartanya (tidak boleh merampasnya) dan haram kehormatannya (tidak boleh mengumpatnya).”
Ghibah atau mengumpat itu melanggar kehormatan orang, seperti yang dijelaskan oleh sabda Rasulullah s.a.w, “Wahai golongan orang-orang yang telah beriman lidahnya, tetapi belum beriman pula hatinya! Janganlah kamu mengumpat kaum Muslimin dan jangan pula mengintip-intip keaiban-keaibannya. Sebab barangsiapa yang mengintip keaiban saudaranya, niscaya Allah akan mengintip keaibannya, dan siapa yang Allah mengintip keaibannya, nescaya Dia akan mendedahkannya, meskipun ia berada di tengah-tengah rumahnya.”
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa dia telah mengulas tentang maksud ayat berikut: “Celakalah untuk setiap pengumpat, penista.”(al-humazah: 1)
Erti pengumpat di sini, ialah menikam peribadi seseorang dengan kata-kata yang memburukkan dan melukai hati. Dan penista pula diumpamakan seperti memakan daging saudara yang telah mati melalui mengumpat.
Didapati bahwa kebanyakan para Salaf Saleh berpendapat, bahwa ibadat itu bukanlah hanya setakat puasa atau bersembahyang saja, tetapi terkira dalam ibadat juga menahan diri dari mengumpat orang lain.
Ibnu Abbas berkata: Andaikata anda ingin menyebut-nyebut keaiban sahabatmu, terlebih dulu sebutkanlah keaiban diri sendiri.
Pengertian mengumpat dan batasnya
Ketahuilah bahwa batas mengumpat itu, ialah apabila anda menyebut sesuatu yang boleh menimbulkan kebencian atau kemarahan saudaramu, bila ia mendengarnya, sama ada yang disebutkan oleh anda sebagai kekurangan-kekurangan pada anggota badannya, atau keturunannya, atau bentuk kejadiannya, atau perbuatannya, atau perkataannya, atau agamanya, atau dunianya ataupun pada pakaiannya, rumahnya dan binatang kenderaannya sekalipun.
Yang dikatakan kekurangan-kekurangan dalam anggota badan, ialah seperti anda mengatakan dia itu rabun juling, botak, pendek, panjang, hitam, kuning dan lain-lain sifat yang boleh menjadikan ia merasa benci dan marah jika mendengarnya.
Mengenai kekurangan-kekurangan dalam nasab keturunan pula, ialah seperti anda mengatakan, bahwa bapanya seorang fasik, jahat dan rendah kelakuannya, ataupun bapanya tukang pikul air, atau sebagainya yang boleh menyebabkan ia marah dan benci.
Mengenai kekurangan-kekurangan dalam bentuk dan rupa, ialah seperti anda mengatakan, bahwa ia itu buruk atau hodoh bentuk kejadiannya, kikir, sombong, bongkak, suka bermegah diri, pemanas, pengecut, degil atau seumpamanya.
Adapun tentang kekurangan-kekurangan dalam perbuatannya mengenai urusan keduniaan ialah seperti anda mengatakan, bahwa iaitu seorang pencuri, penipu, pembohong, taik arak, pengkhianat, zalim suka cuaikan sembahyang, tidak keluarkan zakat, tidak mengambil berat tentang perkara-perkara najis, menderhaka kepada ibu bapa atau seumpamanya.
Manakala perbuatannya yang mengenai urusan keagamaan pula, seperti anda mengatakan, iaitu kurang ajar orangnya, tidak mengendahkan orang, banyak mulut, besar temboloknya, suka tidur banyak, tak tahu meletakkan diri pada tempatnya.
Yang mengenai pakaian pula ialah seperti anda mengatakan bahwa lengan bajunya terlalu panjang, seluarnya terlalu labuh ke bawah, bajunya kotor dan seumpamanya.
Walhasil kata yang menyeluruh dalam pengertian ghibah atau mengumpat, iaitu seperti yang terkandung di dalam Hadis Rasulullah s.a.w, “Ghibah (mengumpat) itu adalah anda menyebut perihal saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.”
Yang dilarang pula, ialah menyebut perihal saudaramu dengan lidah, sebab dengan sebutan itu anda dapat menyampaikan kekurangan-kekurangan saudaramu dan mendedahkan perkara-perkara yang dibencinya kepada orang lain. Oleh yang demikian, maka membuat sindiran itu samalah seperti berkata terang-terangan, perbuatan samalah seperti perkataan, mengisyarat samalah seperti mengangguk, berkelip mata samalah seperti menunjuk gerak laku. Pendek kata apa saja yang dilakukan olehmu boleh menunjukkan kepada maksud ghibah atau mengumpat, maka ia adalah dilarang dan dihukumkan haram.
Jadi orang yang mengisyaratkan dengan tangannya perihal pendek atau panjangnya seseorang, ataupun ia meniru-niru tentang gaya perjalanan orang itu, maka itu juga adalah ghibah yang dilarang. Menulis mengenai keaiban diri seseorang adalah ghibah juga, sebab qalam atau pena itu ganti lisan.
Termasuk ghibah juga, jika anda menunjukkan sesuatu ucapan kepada seseorang tanpa menyebut namanya, misalnya anda berkata: Si anu yang baru sampai dari pelayaran ataupun setengah-setengah orang yang berjalan di hadapan kita hari ini, bila orang yang ditujukan ucapan itu faham, bahwa ia yang dimaksudkan, maka itu juga ghibah.
Demikian juga, jika seseorang itu tersinggung sebab keaibannya disebutkan dalam sighah (bentuk) berdoa, seperti orang yang berdoa: Alhamdulillah, Tuhan tidak mengenakan aku bala’ itu, atau penyakit itu (disebutkan hadapan orang yang kena bala’ atau penyakit itu).
Termasuk ghibah juga, jika orang mula memuji-muji seseorang yang ingin dikejinya. Misalnya ia berkata: Alangkah baik sekali hal-ehwal orang itu, tetapi malangnya dia juga sama seperti kita sekalian begini dan begitu. Disebut diri orang itu dengan dibandingkan dengan dirinya, dan tujuannya tidak lain melainkan mencaci orang itu.
Di antaranya juga, jika ia menyebut keaiban seseorang di hadapan orang ramai, tetapi mereka tidak dapat mengagak siapa orang yang ditujukan celaan itu, lalu ia menyebut pula: Subhanallah. Hairan betul si fulan itu dengan kelakuannya! Hingga apabila di dengar lagi oleh orang-orang itu, mereka pun faham siapa orang ditujukan celaan tadi. Ini adalah suatu dosa yang besar, sebab si pengumpat itu telah menggunakan nama Allah Ta’ala, iaitu nama Tuhan dijadikan perantaraan untuk merealisasikan cita-citanya yang jahat itu.
Di antaranya juga, kata-kata orang begini: Sungguh sedih aku, apa yang telah berlaku di atas sahabat kita, kerana kecuaian dan perilakunya yang tak baik. Maka orang yang berkata begitu, adalah pembohong orangnya, sebab andaikata ia benar-benar merasa sedih dan dukacita, tentulah ia tidak begitu senang melahirkan kepada orang ramai sesuatu yang akan dibenci oleh sahabatnya.
Di antaranya juga, jika ia berkata: Kasihan si miskin itu, ia telah dicubai dengan suatu bala’ yang besar, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kita dan dosanya. Nyatalah pada lahirnya, ia pura-pura melahirkan doa, tetapi Allah lebih mengetahui tentang isi perutnya dan niat busuknya. Dan oleh kerana kejahilannya, ia tidak sedar bahwa ia telah melibatkan dirinya dalam suatu kutukan besar dari Allah Ta’ala.
Di antaranya, ialah jika ia mendengar ghibah atau umpat dengan penuh takjub dan cenderung dengan maksud agar si pengumpat it akan bertambah semangat dan terdorong terus untuk mengumpat secara berlebih-lebihan. Ia akan menggalakkan si pengumpat itu supaya meneruskan pengumpatannya dengan berkata: Ajaib, aku tak tahu yang dia itu begini. Ataupun dengan berkata: Memang aku tidak menyangka sama sekali bahwa dia boleh berkelakuan semacam itu. Ataupun: Mudah-mudahan Allah selamatkan aku dari bala’ seperti ini. Semua ucapan-ucapan serupa itu adalah sama seperti membenarkan kata-kata si pengumpat itu, manakala membenarkan kata-kata orang yang mengumpat samalah seperti mengumpat juga. Sedangkan orang yang mendiamkan diri saja, tanpa membuat apa-apa bantahan, tutur bersyarikat dengan orang yang mengumpat itu. Dia tetap menerima dosanya juga, kecuali jika ia mengingkarinya dengan lidah, ataupun sekurang-kurangnya dalam hati, kalau ia takut kepada orang itu.
Dalam sebuah Hadis: “Bilamana seorang Mu’min dihinakan di hadapan Mu’min yang lain, dan tidak menolongnya padahal ia berkuasa menolong, niscaya Allah akan menghinakannya di Hari Kiamat di hadapan khalayak ramai.”
Dalam suatu riwayat yang lain: “Barangsiapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya secara rahsia, niscaya menjadi wajib atas Allah untuk mempertahankan kehormatannya kelak di Hari Kiamat.”
Sebab-sebab ghibah
Ada beberapa perkara yang menarik orang kepada suka mengumpat, di antaranya:
1. Untuk memuaskan hati, iaitu apabila berlaku sesuatu sebab yang menaikkan kemarahannya, kerana manusia tatkala sedang meluap-luap kemarahannya, hatinya akan merasa puas bila ia dapat menyebut-nyebut keburukan-keburukan orang yang dimarahinya itu. Maka tanpa disedari lidahnya akan menyebut segala yang bukan-bukan ini sekiranya jiwa orang itu tidak dapat dikendalikan oleh jiwa agama. Adakalanya pula seseorang itu dapat mengontrol dirinya ketika dalam kemarahan, akan tetapi dipendamkan kemarahan itu dalam hatinya, sehingga lama-kelamaan menjadi dengki dan dendam khusumat dan akhirnya ia akan tertarik juga kepada sifat mengumpat dengan menyebut-nyebut keburukan orang yang dimarahinya itu.
Pendek kata kedengkian yang menyebabkan dendam khusumat dan kemarahan itu adalah pendorong yang utama kepada sifat ghibah atau pengumpatan.
2. Menurutkan kemahuan rakan handai dan membantu mereka dalam memperkatakan perihal orang lain. Seringkali berlaku ketika berlucu dan bersenda gurau itu, diperbualkanlah tentang hal-ehwal dan urusan orang lain, maka ia akan menjadi serba salah, andaikata ia mengingkarkan kelakuan itu ataupun ia meninggalkan majlis mereka, tentulah rakan handainya akan merasa kurang senang terhadapnya dan mereka akan menyingkirkannya sama sekali. Oleh itu diturutkanlah kemahuan mereka itu, malah ia juga turut campur sekaki dalam celaan dan pengumpatan. Pada anggapannya, sikap itu adalah untuk menjaga perhubungan baik dengan kawan-kawan, tetapi tanpa disedarinya, ia telah tercebur ke dalam bahaya dosa kerana mengumpat. Terkadang-kadang ia terpaksa melahirkan kemarahannya terhadap orang yang dicela itu, ketika kawan-kawan sekalian menampakkan kemarahan terhadapnya, untuk membuktikan simpatinya kepada kawan-kawan dalam suka dan duka.
Nyatalah orang ini telah terlibat dalam sifat mengumpat orang lain, dengan menyebut keaiban-keaiban dan keburukan-keburukannya, disebabkan percampurgaulan yang tidak sihat.
3. Menunjuk-nunjuk kelebihan peribadinya dengan kemegahan dan keistimewaan, iaitu mengangkat dirinya sebagai lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya dari si fulan atau si fulan.
4. Hasad dan irihati, iaitu menyimpan perasaan tidak enak, bila mendengar orang lain dipuji-puji atau disanjung oleh orang ramai, ataupun kerana sesuatu sebab atau yang lain, maka orang itu dihormati dan dimuliakan, sehingga menyebabkan ia merasa bosan terhadapnya. Oleh itu maka timbullah perasaan dengki dan hasad di dalam hatinya, dicubalah berbagai-bagai cara untuk melenyapkan kenikmatan yang dimiliki oleh orang itu, maka tiadalah didapatinya melainkan dengan jalan mencela atau mengumpatnya, sehingga orang ramai berhenti dari memuji-muji orang itu atau menghormatinya, sebab jiwanya tidak tertanggung lagi untuk mendengar segala kepujian dan penghormatan orang ramai terhadap orang itu.
5. Menghadirkan diri dalam majlis-majlis pencengkeramaan atau senda gurauan serta menghabiskan masa dengan bergelak ketawa, di mana di dalam majlis-majlis serupa itu, biasanya di sebut berbagai-bagai keburukan dan keaiban orang lain yang boleh menimbulkan gelak ketawa. Ini boleh berlaku dengan jalan menceritakan perihal orang dengan melahirkan rasa takjub terhadap perilaku orang itu.
6. Menista dan mengejek-ejek orang dengan tujuan untuk meghinanya. Puncanya ialah sifat takabbur dan bongkak dalam diri sendiri, serta memandang orang lain semuanya rendah, hina, bodoh atau jahil.
Selain yang tersebut di atas tadi, ada banyak lagi sebab-sebab yang boleh menarik manusia kepada tercebur dalam bahaya ghibah, atau pengumpatan itu, dan pokok pangkalnya ialah desas-desus syaitan dan hasutannya. Misalnya ia menyebut nama seorang ketika dalam keadaan takjub dengan berkata: Aku hairan si fulan itu. Bagaimana ia boleh duduk seiringan dengan si alim, padahal ia jahil dan bodoh! Takjub semacam ini meskipun benar, tetapi terkira suatu kemungkaran juga.
Misal yang lain, jika ia berkata kerana belas kasihan: Kasihan si fulan itu. Aku merasa sedih mengenangkan halnya, dan melihat bahaya yang menimpanya. Padahal ia mengucapkan yang demikian itu benar-benar dari tulus-ikhlas hatinya. Itu juga terkira suatu ghibah.
Seterusnya ghibah juga boleh berlaku dalam keadaan marah. Misalnya ia merasa sangat marah, bila melihat seorang melakukan sesuatu kemungkaran di hadapannya, lalu dilahirkannya sikap marahnya itu, dan disebut-sebutkan pula nama pelakunya kepada semua orang. Padahal yang wajib dalam perkara semacam ini, ia merahsiakan nama orang itu dan tidak dijajakan namanya kepada orang lain. Dan sememangnya, tidak ada alasan baginya, mengapa ia mesti memberitahukan nama orang itu kepada orang lain.
Penawar yang dapat mengekang lidah dari mengumpat
Ketahuilah bahwasanya segala keburukan-keburukan akhlak, dan kelakuan yang terkeji dapat dipulihkan semula dengan pati dan inti ilmu pengetahuan dan amalan.
Adapun penawar untuk mengekang lidah dari mengumpat orang secara ringkas, maka hendaklah seseorang itu mengetahui, bahwa suka mengumpat itu akan mendedahkan dirinya kepada kemurkaan Allah Ta’ala. Tegasnya, bila ia mengumpat orang samalah seperti ia melanggar perintah atau larangan Allah Ta’ala. Maka apabila seseorang itu penuh percaya dengan khabar-khabar (hadis) dan berita-berita yang menegahnya dari ghibah atau mengumpat, hendaklah ia memelihara lidahnya dari mengumpat, kerana takut terjatuh ke dalam dosa. Suatu cara lain yang berguna baginya ialah dengan meneliti diri sendiri terlebih dulu, apakah dalam dirinya itu ada atau tiada keaiban atau keburukan-keburukan. Jika ada, tentulah lebih utama ia membetulkan diri sendiri daripada mengumpat orang lain.
Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Bertuahlah orang yang sentiasa bekerja kuat untuk membetulkan diri sendiri, daripada menyebut-nyebut keaiban orang lain.”
Apabila terdapat pada diri seseorang sesuatu keburukan, maka sepatutnya ia merasa malu kerana lalai untuk membetulkan diri sendiri sebaliknya mencuba pula untuk membetulkan orang lain. Seterusnya hendaklah ia faham, bahwa jika ia mendapati orang lain itu bersikap lemah, atau tidak berdaya untuk membetulkan dirinya sendiri. Ini jika keaiban-keaiban atau keburukan itu dilakukan oleh orang itu dengan sengaja dan dengan pilihan sendiri bukan terpaksa. Tetapi jika keaiban atau keburukannya itu memang dari asala semula jadinya, maka mencelanya samalah seperti mencela Tuhan yang menjadikannya. Sebab siapa yang mencela sesuatu ciptaan, maka ia telah mencela penciptanya.
Apabila seseorang hamba mendapati dirinya sepi dari keaiban atau keburukan, maka sayugialah hendaknya ia mensyukuri Allah Ta’la yang telah memeliharaya dari segala sifat-sifat yang tidak baik itu. Dan jangan pula ia cuba mengotori peribadinya dengan keburukan-keburukan yang amat tercela kelak. Sebab mencela atau mengumpat orang lain itu diumpamakan seperti memakan daging orang mati, dan ia adalah terkira antara sebesar-besar keaiban.
Bahkan jika ia menginsafi dirinya dan bertenang sejenak, niscaya ia akan dapati, bahwa sangkaannya yang dirinya itu suci dari segala keaiban dan keburukan itu adalah salah. Ini membuktikan juga, bahwa ia masih belum kenal betul-betul dengan diri sendiri. Orang yang menganggap dirinya tidak pernah bersalah adalah berdosa besar.
Cara yang lain untuk menjaga diri dari ghibah, ialah dengan memahami, bahwa orang yang dicelanya itu akan merasakan pedihnya celaan itu, sama seperti dirinya sendiri bila dicela oleh orang lain. Jika sekiranya ia tidak meredhai orang lain mencelanya, maka sewajarnyalah ia juga tidak meredhai orang lain mencelanya, maka sewajarnyalah ia juga tidak meredhai sesuatu bagi orang lain, sebagaimana ridak diredhainya sesuatu itu bagi dirinya sendiri.
Kesimpulannya: Sesiapa yang memang kuat keimanannya tentulah lidahnya akan terpelihara dari ghibah atau mengumpat orang lain.
Menyangka buruk adalah mengumpat di dalam hati.
Ketahuilah bahwa menyangka buruk terhadap orang lain adalah haram, dan samalah seperti haramnya melemparkan kata-kata keji terhadapnya. Sebagaimana haram anda mengucapkan perihal keburukan-keburukan orang dengan lidahmu, maka begitu jugalah dilarang anda mengucapkan keburukan-keburukan di dalam hari, ataupun menyangka buruk terhadapnya. Apa yang dimaksudkan dengan sangkaan buruk itu, ialah sesuatu yang disimpulkan oleh hati, kemudian dilemparkan ke atas orang lain menerusi sangkaan yang buruk.
Adapun segala yang terlintas di dalam hati, ataupun yang dibicarakan di dalam diri, maka yang demikian itu adalah dimaafkan. Tetapi yang dilarang dengan keras, ialah menyangka yang bukan-bukan. Dan sangkaan itu diumpamakan dengan sesuatu yang dirasa tenang oleh jiwa dan dicenderungi oleh hati.
Allah s.w.t. telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sebahagian besar dari sangkaan-sangkaan, kerana setengah dari sangkaan itu ada megandungi dosa.” (al-Hujurat: 12)
Sebabnya sangkaan itu diharamkan, bahwa segala rahsia-rahsia hati tiada siapa yang mengetahuinya, melainkan Allah Yang Maha Mengetahui segala perkara-perkara yang ghaib. Oleh kerana itu, tidak wajarlah bagimu untuk mempercayai adanya suatu keburukan di dalam hati seseorang, melainkan setelah ternyata kepadamu keburukannya, yang mana anda menyaksikan sendiri dengan mata kepala tanpa perantaraan orang lain. Apabila perkara itu belum tersingkap lagi, sepertimana yang anda mempercayainya, maka yakinlah bahwa yang menarik anda kepada sangkaan itu adalah syaitan dan hasutannya. Jadi hendaklah anda membohongi sangkaan buruk itu, dan tidak segera terpengaruh dengan ajakan syaitan, kerana syaitan itu adalah sefasik-fasik kaum yang fasik. Allah Ta’ala telah berfirman lagi;
“Wahai orang-orang yang beriman, jika sekiranya ada seorang fasik membawa suatu berita kepada kamu, maka hendaklah kamu menyelidikinya terlebih dulu, agar kamu tiada mencela sesuatu kaum tanpa usul periksa.”
Dalam sebuah Hadis pula disebutkan sabdanya: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan darah seorang Muslim serta harta bendanya dan menyangka terhadap dirinya dengan sangkaan buruk.”
Kalau begitu apabila terlintas saja di dalam hatimu bisikan atau hasutan syaitan, supaya menyangka buruk terhadap seseorang, maka hendaklah anda menolaknya. Kemudian, cubalah yakinkan kepada dirimu pula, bahwasanya hal dan keadaan orang itu masih belum tersingkap lagi, dan tiada dapat diketahui perkara yang sebenarnya. Anggaplah segala apa yang anda saksikan daripadanya itu, boleh mengandungi kebaikan dan keburukan.
Bagaimana dapat dikatakan bahwasanya sangkaan yang disimpulkan di dalam hati itu telah menjadi bulat, sedangkan syak dan keraguan masih bergelora dan jiwa sering pula mengatakan tanpa usul periksa?
Untuk menjawabnya, kita katakan bahawasanya tanda-tanda bulatnya sangkaan di dalam hati, ialah apabila sifat hati itu telah berubah dari kebiasaannya terhadap orang yang dilemparkan sangkaan itu. Ia tidak pandang lagi orang itu, sama seperti sebelum ia menyangka buruk terhadapnya. Ia akan menjauhkan diri daripada orang itu, merasa berat untuk berkawan dengannya, tiada mengambil berat terhadap hal-ehwalnya, tiada pernah mencari atau menghormatinya, atau merasas sedih oleh sesuatu yang menimpanya.
Jalan keluar untuk menghindarkan diri dari perilaku ini, hendaklah ia tidak mengikut sangat kehendak hati, yakni tidak merealisasikan sikap serupa itu, sama ada dengan ucapan mahupun perbuatan, baik menerusi hati ataupun anggota. Mungkin sekali ketika itu syaitan akan menghasut bahwa sikap itu timbulnya dari kecerdasan otakmu dan ingatan serta kecerdikanmu yang spontan. Bukankah telah dikatakan bahwasanya orang Mu’min itu dapat melihat sesuatu dengan cahaya dari Allah Ta’ala? Maka ketahuilah, yang sebenarnya itu adalah bisikan dan waswas syaitan semata-mata yang telah menjadikan anda melihat dengan tipu dayanya dan kegelapan petunjuknya.
Walau bagaimanapun, apabila telah ternyata kepadamu kekhilafan atau keterlanjuran seorang Mu’min dengan bukti dan hujah, maka sebaik-baiknya ialah anda menasihatkannya secara rahsia. Dalam pada itu, jagalah dirimu, agar tidak tertipu oleh syaitan, sehingga ia akan menarik kepada mengumpat orang Mu’min itu.
Di antara buahnya (natijahnya) sangkaan buruk itu, ialah mengintip hal-ehwal orang. Sebab biasanya hati itu tidak memadai dengan menyangka buruk saja, malah ia akan berusaha untuk mendapatkan kenyataan atau hakikatnya, maka dilakukan olehnya pengintinpan, dan ini juga dilarang keras oleh Islam.
Allah telah berfirman: “Dan janganlah kamu mengintip-intip.” (al-Hujurat: 12)
Nyatalah sudah, bahwasanya mengumpat, menyangka buruk dan mengintip it disebutkan larangannya di dalam sebuah ayat.
Erti dan maksud mengintip ialah bila seseorang itu, tiada membiarkan hamba-hamba Allah terlindung di bawah naunganNya, maka ia merasa kurang senang selagi tiada mengetahui isi perutnya, dan cuba membuka tutup naungan Allah daripada orang itu, sehingga terbongkar segala rahsianya. Padahal jika dibiarkan tertutup, lebih baik dan lebih selamat bagi hatinya dan agamanya.
Sebelum telah kita terangkan hukum, mengintip dan hakikiatnya di dalam kitab amar mar’uf nahi mungkar, sila rujuk kepadanya lagi.
Sebab-sebab yang membolehkan mengumpat
Ketahuilah bahawasanya jika tiada jalan lain untuk mencapai sesutau tujuan yang betul menurut yang dibenarkan oleh syariat Islam, melainkan dengan menyebut-nyebut keburukan-keburukan orang lain, maka dalam hal yang seumpama ini dibenarkan mengumpat, dan hukumnya tidak berdosa sama sekali.
Allah s.w.t. telah menaskan celaan mengumpat ini di dalam kitabNya yang mulia, dan telah menyamakan orang yang suka mengumpat itu, dengan orang yang memakan daging saudaranya yang telah mati. Allah telah berfirman: “Dan janganlah setengah kamu mengumpat setengah yang lain, Adakah seseorang kamu suka memakan daging saudarnya yang telah mati, tentulah kamu sekalian benci memakannya.”(al-Hujurat: 12)
Rasulullah s.a.w. pula bersabda: “Setiap orang Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya (tidak boleh membunuhnya tanpa hak), haram hartanya (tidak boleh merampasnya) dan haram kehormatannya (tidak boleh mengumpatnya).”
Ghibah atau mengumpat itu melanggar kehormatan orang, seperti yang dijelaskan oleh sabda Rasulullah s.a.w, “Wahai golongan orang-orang yang telah beriman lidahnya, tetapi belum beriman pula hatinya! Janganlah kamu mengumpat kaum Muslimin dan jangan pula mengintip-intip keaiban-keaibannya. Sebab barangsiapa yang mengintip keaiban saudaranya, niscaya Allah akan mengintip keaibannya, dan siapa yang Allah mengintip keaibannya, nescaya Dia akan mendedahkannya, meskipun ia berada di tengah-tengah rumahnya.”
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa dia telah mengulas tentang maksud ayat berikut: “Celakalah untuk setiap pengumpat, penista.”(al-humazah: 1)
Erti pengumpat di sini, ialah menikam peribadi seseorang dengan kata-kata yang memburukkan dan melukai hati. Dan penista pula diumpamakan seperti memakan daging saudara yang telah mati melalui mengumpat.
Didapati bahwa kebanyakan para Salaf Saleh berpendapat, bahwa ibadat itu bukanlah hanya setakat puasa atau bersembahyang saja, tetapi terkira dalam ibadat juga menahan diri dari mengumpat orang lain.
Ibnu Abbas berkata: Andaikata anda ingin menyebut-nyebut keaiban sahabatmu, terlebih dulu sebutkanlah keaiban diri sendiri.
Pengertian mengumpat dan batasnya
Ketahuilah bahwa batas mengumpat itu, ialah apabila anda menyebut sesuatu yang boleh menimbulkan kebencian atau kemarahan saudaramu, bila ia mendengarnya, sama ada yang disebutkan oleh anda sebagai kekurangan-kekurangan pada anggota badannya, atau keturunannya, atau bentuk kejadiannya, atau perbuatannya, atau perkataannya, atau agamanya, atau dunianya ataupun pada pakaiannya, rumahnya dan binatang kenderaannya sekalipun.
Yang dikatakan kekurangan-kekurangan dalam anggota badan, ialah seperti anda mengatakan dia itu rabun juling, botak, pendek, panjang, hitam, kuning dan lain-lain sifat yang boleh menjadikan ia merasa benci dan marah jika mendengarnya.
Mengenai kekurangan-kekurangan dalam nasab keturunan pula, ialah seperti anda mengatakan, bahwa bapanya seorang fasik, jahat dan rendah kelakuannya, ataupun bapanya tukang pikul air, atau sebagainya yang boleh menyebabkan ia marah dan benci.
Mengenai kekurangan-kekurangan dalam bentuk dan rupa, ialah seperti anda mengatakan, bahwa ia itu buruk atau hodoh bentuk kejadiannya, kikir, sombong, bongkak, suka bermegah diri, pemanas, pengecut, degil atau seumpamanya.
Adapun tentang kekurangan-kekurangan dalam perbuatannya mengenai urusan keduniaan ialah seperti anda mengatakan, bahwa iaitu seorang pencuri, penipu, pembohong, taik arak, pengkhianat, zalim suka cuaikan sembahyang, tidak keluarkan zakat, tidak mengambil berat tentang perkara-perkara najis, menderhaka kepada ibu bapa atau seumpamanya.
Manakala perbuatannya yang mengenai urusan keagamaan pula, seperti anda mengatakan, iaitu kurang ajar orangnya, tidak mengendahkan orang, banyak mulut, besar temboloknya, suka tidur banyak, tak tahu meletakkan diri pada tempatnya.
Yang mengenai pakaian pula ialah seperti anda mengatakan bahwa lengan bajunya terlalu panjang, seluarnya terlalu labuh ke bawah, bajunya kotor dan seumpamanya.
Walhasil kata yang menyeluruh dalam pengertian ghibah atau mengumpat, iaitu seperti yang terkandung di dalam Hadis Rasulullah s.a.w, “Ghibah (mengumpat) itu adalah anda menyebut perihal saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.”
Yang dilarang pula, ialah menyebut perihal saudaramu dengan lidah, sebab dengan sebutan itu anda dapat menyampaikan kekurangan-kekurangan saudaramu dan mendedahkan perkara-perkara yang dibencinya kepada orang lain. Oleh yang demikian, maka membuat sindiran itu samalah seperti berkata terang-terangan, perbuatan samalah seperti perkataan, mengisyarat samalah seperti mengangguk, berkelip mata samalah seperti menunjuk gerak laku. Pendek kata apa saja yang dilakukan olehmu boleh menunjukkan kepada maksud ghibah atau mengumpat, maka ia adalah dilarang dan dihukumkan haram.
Jadi orang yang mengisyaratkan dengan tangannya perihal pendek atau panjangnya seseorang, ataupun ia meniru-niru tentang gaya perjalanan orang itu, maka itu juga adalah ghibah yang dilarang. Menulis mengenai keaiban diri seseorang adalah ghibah juga, sebab qalam atau pena itu ganti lisan.
Termasuk ghibah juga, jika anda menunjukkan sesuatu ucapan kepada seseorang tanpa menyebut namanya, misalnya anda berkata: Si anu yang baru sampai dari pelayaran ataupun setengah-setengah orang yang berjalan di hadapan kita hari ini, bila orang yang ditujukan ucapan itu faham, bahwa ia yang dimaksudkan, maka itu juga ghibah.
Demikian juga, jika seseorang itu tersinggung sebab keaibannya disebutkan dalam sighah (bentuk) berdoa, seperti orang yang berdoa: Alhamdulillah, Tuhan tidak mengenakan aku bala’ itu, atau penyakit itu (disebutkan hadapan orang yang kena bala’ atau penyakit itu).
Termasuk ghibah juga, jika orang mula memuji-muji seseorang yang ingin dikejinya. Misalnya ia berkata: Alangkah baik sekali hal-ehwal orang itu, tetapi malangnya dia juga sama seperti kita sekalian begini dan begitu. Disebut diri orang itu dengan dibandingkan dengan dirinya, dan tujuannya tidak lain melainkan mencaci orang itu.
Di antaranya juga, jika ia menyebut keaiban seseorang di hadapan orang ramai, tetapi mereka tidak dapat mengagak siapa orang yang ditujukan celaan itu, lalu ia menyebut pula: Subhanallah. Hairan betul si fulan itu dengan kelakuannya! Hingga apabila di dengar lagi oleh orang-orang itu, mereka pun faham siapa orang ditujukan celaan tadi. Ini adalah suatu dosa yang besar, sebab si pengumpat itu telah menggunakan nama Allah Ta’ala, iaitu nama Tuhan dijadikan perantaraan untuk merealisasikan cita-citanya yang jahat itu.
Di antaranya juga, kata-kata orang begini: Sungguh sedih aku, apa yang telah berlaku di atas sahabat kita, kerana kecuaian dan perilakunya yang tak baik. Maka orang yang berkata begitu, adalah pembohong orangnya, sebab andaikata ia benar-benar merasa sedih dan dukacita, tentulah ia tidak begitu senang melahirkan kepada orang ramai sesuatu yang akan dibenci oleh sahabatnya.
Di antaranya juga, jika ia berkata: Kasihan si miskin itu, ia telah dicubai dengan suatu bala’ yang besar, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa kita dan dosanya. Nyatalah pada lahirnya, ia pura-pura melahirkan doa, tetapi Allah lebih mengetahui tentang isi perutnya dan niat busuknya. Dan oleh kerana kejahilannya, ia tidak sedar bahwa ia telah melibatkan dirinya dalam suatu kutukan besar dari Allah Ta’ala.
Di antaranya, ialah jika ia mendengar ghibah atau umpat dengan penuh takjub dan cenderung dengan maksud agar si pengumpat it akan bertambah semangat dan terdorong terus untuk mengumpat secara berlebih-lebihan. Ia akan menggalakkan si pengumpat itu supaya meneruskan pengumpatannya dengan berkata: Ajaib, aku tak tahu yang dia itu begini. Ataupun dengan berkata: Memang aku tidak menyangka sama sekali bahwa dia boleh berkelakuan semacam itu. Ataupun: Mudah-mudahan Allah selamatkan aku dari bala’ seperti ini. Semua ucapan-ucapan serupa itu adalah sama seperti membenarkan kata-kata si pengumpat itu, manakala membenarkan kata-kata orang yang mengumpat samalah seperti mengumpat juga. Sedangkan orang yang mendiamkan diri saja, tanpa membuat apa-apa bantahan, tutur bersyarikat dengan orang yang mengumpat itu. Dia tetap menerima dosanya juga, kecuali jika ia mengingkarinya dengan lidah, ataupun sekurang-kurangnya dalam hati, kalau ia takut kepada orang itu.
Dalam sebuah Hadis: “Bilamana seorang Mu’min dihinakan di hadapan Mu’min yang lain, dan tidak menolongnya padahal ia berkuasa menolong, niscaya Allah akan menghinakannya di Hari Kiamat di hadapan khalayak ramai.”
Dalam suatu riwayat yang lain: “Barangsiapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya secara rahsia, niscaya menjadi wajib atas Allah untuk mempertahankan kehormatannya kelak di Hari Kiamat.”
Sebab-sebab ghibah
Ada beberapa perkara yang menarik orang kepada suka mengumpat, di antaranya:
1. Untuk memuaskan hati, iaitu apabila berlaku sesuatu sebab yang menaikkan kemarahannya, kerana manusia tatkala sedang meluap-luap kemarahannya, hatinya akan merasa puas bila ia dapat menyebut-nyebut keburukan-keburukan orang yang dimarahinya itu. Maka tanpa disedari lidahnya akan menyebut segala yang bukan-bukan ini sekiranya jiwa orang itu tidak dapat dikendalikan oleh jiwa agama. Adakalanya pula seseorang itu dapat mengontrol dirinya ketika dalam kemarahan, akan tetapi dipendamkan kemarahan itu dalam hatinya, sehingga lama-kelamaan menjadi dengki dan dendam khusumat dan akhirnya ia akan tertarik juga kepada sifat mengumpat dengan menyebut-nyebut keburukan orang yang dimarahinya itu.
Pendek kata kedengkian yang menyebabkan dendam khusumat dan kemarahan itu adalah pendorong yang utama kepada sifat ghibah atau pengumpatan.
2. Menurutkan kemahuan rakan handai dan membantu mereka dalam memperkatakan perihal orang lain. Seringkali berlaku ketika berlucu dan bersenda gurau itu, diperbualkanlah tentang hal-ehwal dan urusan orang lain, maka ia akan menjadi serba salah, andaikata ia mengingkarkan kelakuan itu ataupun ia meninggalkan majlis mereka, tentulah rakan handainya akan merasa kurang senang terhadapnya dan mereka akan menyingkirkannya sama sekali. Oleh itu diturutkanlah kemahuan mereka itu, malah ia juga turut campur sekaki dalam celaan dan pengumpatan. Pada anggapannya, sikap itu adalah untuk menjaga perhubungan baik dengan kawan-kawan, tetapi tanpa disedarinya, ia telah tercebur ke dalam bahaya dosa kerana mengumpat. Terkadang-kadang ia terpaksa melahirkan kemarahannya terhadap orang yang dicela itu, ketika kawan-kawan sekalian menampakkan kemarahan terhadapnya, untuk membuktikan simpatinya kepada kawan-kawan dalam suka dan duka.
Nyatalah orang ini telah terlibat dalam sifat mengumpat orang lain, dengan menyebut keaiban-keaiban dan keburukan-keburukannya, disebabkan percampurgaulan yang tidak sihat.
3. Menunjuk-nunjuk kelebihan peribadinya dengan kemegahan dan keistimewaan, iaitu mengangkat dirinya sebagai lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya dari si fulan atau si fulan.
4. Hasad dan irihati, iaitu menyimpan perasaan tidak enak, bila mendengar orang lain dipuji-puji atau disanjung oleh orang ramai, ataupun kerana sesuatu sebab atau yang lain, maka orang itu dihormati dan dimuliakan, sehingga menyebabkan ia merasa bosan terhadapnya. Oleh itu maka timbullah perasaan dengki dan hasad di dalam hatinya, dicubalah berbagai-bagai cara untuk melenyapkan kenikmatan yang dimiliki oleh orang itu, maka tiadalah didapatinya melainkan dengan jalan mencela atau mengumpatnya, sehingga orang ramai berhenti dari memuji-muji orang itu atau menghormatinya, sebab jiwanya tidak tertanggung lagi untuk mendengar segala kepujian dan penghormatan orang ramai terhadap orang itu.
5. Menghadirkan diri dalam majlis-majlis pencengkeramaan atau senda gurauan serta menghabiskan masa dengan bergelak ketawa, di mana di dalam majlis-majlis serupa itu, biasanya di sebut berbagai-bagai keburukan dan keaiban orang lain yang boleh menimbulkan gelak ketawa. Ini boleh berlaku dengan jalan menceritakan perihal orang dengan melahirkan rasa takjub terhadap perilaku orang itu.
6. Menista dan mengejek-ejek orang dengan tujuan untuk meghinanya. Puncanya ialah sifat takabbur dan bongkak dalam diri sendiri, serta memandang orang lain semuanya rendah, hina, bodoh atau jahil.
Selain yang tersebut di atas tadi, ada banyak lagi sebab-sebab yang boleh menarik manusia kepada tercebur dalam bahaya ghibah, atau pengumpatan itu, dan pokok pangkalnya ialah desas-desus syaitan dan hasutannya. Misalnya ia menyebut nama seorang ketika dalam keadaan takjub dengan berkata: Aku hairan si fulan itu. Bagaimana ia boleh duduk seiringan dengan si alim, padahal ia jahil dan bodoh! Takjub semacam ini meskipun benar, tetapi terkira suatu kemungkaran juga.
Misal yang lain, jika ia berkata kerana belas kasihan: Kasihan si fulan itu. Aku merasa sedih mengenangkan halnya, dan melihat bahaya yang menimpanya. Padahal ia mengucapkan yang demikian itu benar-benar dari tulus-ikhlas hatinya. Itu juga terkira suatu ghibah.
Seterusnya ghibah juga boleh berlaku dalam keadaan marah. Misalnya ia merasa sangat marah, bila melihat seorang melakukan sesuatu kemungkaran di hadapannya, lalu dilahirkannya sikap marahnya itu, dan disebut-sebutkan pula nama pelakunya kepada semua orang. Padahal yang wajib dalam perkara semacam ini, ia merahsiakan nama orang itu dan tidak dijajakan namanya kepada orang lain. Dan sememangnya, tidak ada alasan baginya, mengapa ia mesti memberitahukan nama orang itu kepada orang lain.
Penawar yang dapat mengekang lidah dari mengumpat
Ketahuilah bahwasanya segala keburukan-keburukan akhlak, dan kelakuan yang terkeji dapat dipulihkan semula dengan pati dan inti ilmu pengetahuan dan amalan.
Adapun penawar untuk mengekang lidah dari mengumpat orang secara ringkas, maka hendaklah seseorang itu mengetahui, bahwa suka mengumpat itu akan mendedahkan dirinya kepada kemurkaan Allah Ta’ala. Tegasnya, bila ia mengumpat orang samalah seperti ia melanggar perintah atau larangan Allah Ta’ala. Maka apabila seseorang itu penuh percaya dengan khabar-khabar (hadis) dan berita-berita yang menegahnya dari ghibah atau mengumpat, hendaklah ia memelihara lidahnya dari mengumpat, kerana takut terjatuh ke dalam dosa. Suatu cara lain yang berguna baginya ialah dengan meneliti diri sendiri terlebih dulu, apakah dalam dirinya itu ada atau tiada keaiban atau keburukan-keburukan. Jika ada, tentulah lebih utama ia membetulkan diri sendiri daripada mengumpat orang lain.
Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Bertuahlah orang yang sentiasa bekerja kuat untuk membetulkan diri sendiri, daripada menyebut-nyebut keaiban orang lain.”
Apabila terdapat pada diri seseorang sesuatu keburukan, maka sepatutnya ia merasa malu kerana lalai untuk membetulkan diri sendiri sebaliknya mencuba pula untuk membetulkan orang lain. Seterusnya hendaklah ia faham, bahwa jika ia mendapati orang lain itu bersikap lemah, atau tidak berdaya untuk membetulkan dirinya sendiri. Ini jika keaiban-keaiban atau keburukan itu dilakukan oleh orang itu dengan sengaja dan dengan pilihan sendiri bukan terpaksa. Tetapi jika keaiban atau keburukannya itu memang dari asala semula jadinya, maka mencelanya samalah seperti mencela Tuhan yang menjadikannya. Sebab siapa yang mencela sesuatu ciptaan, maka ia telah mencela penciptanya.
Apabila seseorang hamba mendapati dirinya sepi dari keaiban atau keburukan, maka sayugialah hendaknya ia mensyukuri Allah Ta’la yang telah memeliharaya dari segala sifat-sifat yang tidak baik itu. Dan jangan pula ia cuba mengotori peribadinya dengan keburukan-keburukan yang amat tercela kelak. Sebab mencela atau mengumpat orang lain itu diumpamakan seperti memakan daging orang mati, dan ia adalah terkira antara sebesar-besar keaiban.
Bahkan jika ia menginsafi dirinya dan bertenang sejenak, niscaya ia akan dapati, bahwa sangkaannya yang dirinya itu suci dari segala keaiban dan keburukan itu adalah salah. Ini membuktikan juga, bahwa ia masih belum kenal betul-betul dengan diri sendiri. Orang yang menganggap dirinya tidak pernah bersalah adalah berdosa besar.
Cara yang lain untuk menjaga diri dari ghibah, ialah dengan memahami, bahwa orang yang dicelanya itu akan merasakan pedihnya celaan itu, sama seperti dirinya sendiri bila dicela oleh orang lain. Jika sekiranya ia tidak meredhai orang lain mencelanya, maka sewajarnyalah ia juga tidak meredhai orang lain mencelanya, maka sewajarnyalah ia juga tidak meredhai sesuatu bagi orang lain, sebagaimana ridak diredhainya sesuatu itu bagi dirinya sendiri.
Kesimpulannya: Sesiapa yang memang kuat keimanannya tentulah lidahnya akan terpelihara dari ghibah atau mengumpat orang lain.
Menyangka buruk adalah mengumpat di dalam hati.
Ketahuilah bahwa menyangka buruk terhadap orang lain adalah haram, dan samalah seperti haramnya melemparkan kata-kata keji terhadapnya. Sebagaimana haram anda mengucapkan perihal keburukan-keburukan orang dengan lidahmu, maka begitu jugalah dilarang anda mengucapkan keburukan-keburukan di dalam hari, ataupun menyangka buruk terhadapnya. Apa yang dimaksudkan dengan sangkaan buruk itu, ialah sesuatu yang disimpulkan oleh hati, kemudian dilemparkan ke atas orang lain menerusi sangkaan yang buruk.
Adapun segala yang terlintas di dalam hati, ataupun yang dibicarakan di dalam diri, maka yang demikian itu adalah dimaafkan. Tetapi yang dilarang dengan keras, ialah menyangka yang bukan-bukan. Dan sangkaan itu diumpamakan dengan sesuatu yang dirasa tenang oleh jiwa dan dicenderungi oleh hati.
Allah s.w.t. telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sebahagian besar dari sangkaan-sangkaan, kerana setengah dari sangkaan itu ada megandungi dosa.” (al-Hujurat: 12)
Sebabnya sangkaan itu diharamkan, bahwa segala rahsia-rahsia hati tiada siapa yang mengetahuinya, melainkan Allah Yang Maha Mengetahui segala perkara-perkara yang ghaib. Oleh kerana itu, tidak wajarlah bagimu untuk mempercayai adanya suatu keburukan di dalam hati seseorang, melainkan setelah ternyata kepadamu keburukannya, yang mana anda menyaksikan sendiri dengan mata kepala tanpa perantaraan orang lain. Apabila perkara itu belum tersingkap lagi, sepertimana yang anda mempercayainya, maka yakinlah bahwa yang menarik anda kepada sangkaan itu adalah syaitan dan hasutannya. Jadi hendaklah anda membohongi sangkaan buruk itu, dan tidak segera terpengaruh dengan ajakan syaitan, kerana syaitan itu adalah sefasik-fasik kaum yang fasik. Allah Ta’ala telah berfirman lagi;
“Wahai orang-orang yang beriman, jika sekiranya ada seorang fasik membawa suatu berita kepada kamu, maka hendaklah kamu menyelidikinya terlebih dulu, agar kamu tiada mencela sesuatu kaum tanpa usul periksa.”
Dalam sebuah Hadis pula disebutkan sabdanya: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan darah seorang Muslim serta harta bendanya dan menyangka terhadap dirinya dengan sangkaan buruk.”
Kalau begitu apabila terlintas saja di dalam hatimu bisikan atau hasutan syaitan, supaya menyangka buruk terhadap seseorang, maka hendaklah anda menolaknya. Kemudian, cubalah yakinkan kepada dirimu pula, bahwasanya hal dan keadaan orang itu masih belum tersingkap lagi, dan tiada dapat diketahui perkara yang sebenarnya. Anggaplah segala apa yang anda saksikan daripadanya itu, boleh mengandungi kebaikan dan keburukan.
Bagaimana dapat dikatakan bahwasanya sangkaan yang disimpulkan di dalam hati itu telah menjadi bulat, sedangkan syak dan keraguan masih bergelora dan jiwa sering pula mengatakan tanpa usul periksa?
Untuk menjawabnya, kita katakan bahawasanya tanda-tanda bulatnya sangkaan di dalam hati, ialah apabila sifat hati itu telah berubah dari kebiasaannya terhadap orang yang dilemparkan sangkaan itu. Ia tidak pandang lagi orang itu, sama seperti sebelum ia menyangka buruk terhadapnya. Ia akan menjauhkan diri daripada orang itu, merasa berat untuk berkawan dengannya, tiada mengambil berat terhadap hal-ehwalnya, tiada pernah mencari atau menghormatinya, atau merasas sedih oleh sesuatu yang menimpanya.
Jalan keluar untuk menghindarkan diri dari perilaku ini, hendaklah ia tidak mengikut sangat kehendak hati, yakni tidak merealisasikan sikap serupa itu, sama ada dengan ucapan mahupun perbuatan, baik menerusi hati ataupun anggota. Mungkin sekali ketika itu syaitan akan menghasut bahwa sikap itu timbulnya dari kecerdasan otakmu dan ingatan serta kecerdikanmu yang spontan. Bukankah telah dikatakan bahwasanya orang Mu’min itu dapat melihat sesuatu dengan cahaya dari Allah Ta’ala? Maka ketahuilah, yang sebenarnya itu adalah bisikan dan waswas syaitan semata-mata yang telah menjadikan anda melihat dengan tipu dayanya dan kegelapan petunjuknya.
Walau bagaimanapun, apabila telah ternyata kepadamu kekhilafan atau keterlanjuran seorang Mu’min dengan bukti dan hujah, maka sebaik-baiknya ialah anda menasihatkannya secara rahsia. Dalam pada itu, jagalah dirimu, agar tidak tertipu oleh syaitan, sehingga ia akan menarik kepada mengumpat orang Mu’min itu.
Di antara buahnya (natijahnya) sangkaan buruk itu, ialah mengintip hal-ehwal orang. Sebab biasanya hati itu tidak memadai dengan menyangka buruk saja, malah ia akan berusaha untuk mendapatkan kenyataan atau hakikatnya, maka dilakukan olehnya pengintinpan, dan ini juga dilarang keras oleh Islam.
Allah telah berfirman: “Dan janganlah kamu mengintip-intip.” (al-Hujurat: 12)
Nyatalah sudah, bahwasanya mengumpat, menyangka buruk dan mengintip it disebutkan larangannya di dalam sebuah ayat.
Erti dan maksud mengintip ialah bila seseorang itu, tiada membiarkan hamba-hamba Allah terlindung di bawah naunganNya, maka ia merasa kurang senang selagi tiada mengetahui isi perutnya, dan cuba membuka tutup naungan Allah daripada orang itu, sehingga terbongkar segala rahsianya. Padahal jika dibiarkan tertutup, lebih baik dan lebih selamat bagi hatinya dan agamanya.
Sebelum telah kita terangkan hukum, mengintip dan hakikiatnya di dalam kitab amar mar’uf nahi mungkar, sila rujuk kepadanya lagi.
Sebab-sebab yang membolehkan mengumpat
Ketahuilah bahawasanya jika tiada jalan lain untuk mencapai sesutau tujuan yang betul menurut yang dibenarkan oleh syariat Islam, melainkan dengan menyebut-nyebut keburukan-keburukan orang lain, maka dalam hal yang seumpama ini dibenarkan mengumpat, dan hukumnya tidak berdosa sama sekali.
Mengumpat dibenarkan dalam beberapa perkara saja, iaitu:
1. Bila berlaku penganiayaan, seperti seorang yang terzalim mengadukan kezaliman seseorang kepada hakim, agar hakim dapat mengembalikan haknya daripada orang yang menzaliminya. Dalam hal serupa ini, tidak mungkin jelas perkaranya, melainkan dengan menyebut dan menerangkan keburukan-keburukan si zalim itu untuk membuktikan kezalimannya
Rasulullah s.a.w. telah bersabda:“Sesungguhnya orang yang mempunyai hak itu, boleh mengucapkan alasan.”
Sabdanya lagi: “Menahan hak orang adalah suatu penganiayaan bagi orang kaya.”
2. Meminta bantuan orang lain untuk mengubah sesuatu kemungkaran dari seseorang atau mengembalikan seorang ashi (derhaka) ke jalan kebaikan.
3. Ketika meminta fatwa atau penerangan sesuatu hukum dalam agama. Misalnya ia berkata kepada Tuan Mufti: Ayah saya telah menganiaya saya, ataupun isteri saya atau saudara saya telah menzalimi saya. Dikatakan begitu setelah terlebih dulu mengatakan secara sindiran atau dengan membuat alasan-alasan, tetapi Tuan Mufti masih belum faham. Ketika itu barulah dikatakan dengan terang-terangan.
Hal ini berdasarkan kepada suatu riwayat dari Hindun binti Utbah, bahwasanya ia telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w.: Bahawasanya Abu Sufyan itu (suaminya) adalah seorang yang amat pelokek. Ia tiada memberiku untuk keperluanku dan keperluan anakku dengan secukup-cukupnya. Maka sabda Rasulullah s.a.w.: Ambillah apa yang cukup untuk keperluanmu dan keperluan anakmu secara adil.
Dalam peristiwa di atas, Hindun telah menyatakan kepada Rasulullah s.a.w. tentang kekikiran suaminya dan ketidak-adilannya terhadapa dirinya dan anaknya dalam persoalan nafkah. Nabi tidak melarangnya dari berkata begitu, sebab maksud Hindun ialah bertanyakan hukum.
4. Mengingatkan seseorang Muslim kepada sesuatu kejahatan. Misalnya: Jika anda mengetahui sesorang itu jahat, lalu anda mengingatkan orang lain supaya menjauhkan diri dari orang itu. Ataupun orang yang cuba membuktikan dirinya benar di hadapan pun orang yang diminta fikirannya dalam perkahwinan, lalu ia menyebut keburukan orang yang meminang. Ataupun menyatakan keaiban seseorang, agar amanat tiada diserahkan kepadanya atau seumpamanya dengan menyatakan apa-apa yang diketahuinya dengan benar atas tujuan menasihat, bukan kerana memburuk-burukkan atau menjatuhkan namanya di hadapan orang lain.
5. Bila seseorang itu terkenal dengan sesuatu gelaran atau panggilan yang memang menunjukkan sesuatu kekurangan pada dirinya, seperti mengatakan si fulan yang tempang atau yang buta. Maka dalam hal serupa ini, tiadalah dilarang menyebutkannya, kerana itu mustahak disebutkan supaya orang mengenalinya. Begitu juga sebab panggilan itu sudah menjadi kebiasaan, orang yang berkenaan tidak mungkin marah lagi, kerana ia telah termasyhur dengan gelaran itu. Walau bagaimanapun, sekiranya dapat diubah dengan gelaran lain, atau panggilan yang lebih baik, dan senang pula disebarkan kepada orang ramai, maka itulah yang lebih dan senang pula disebarkan kepada orang ramai, maka itulah yang lebih baik dan utama. Oleh kerana itu pernah orang buta dipanggil dan digelar dengan si celik untuk menghindarkannya dari sifat kekurangan itu.
3. Ketika meminta fatwa atau penerangan sesuatu hukum dalam agama. Misalnya ia berkata kepada Tuan Mufti: Ayah saya telah menganiaya saya, ataupun isteri saya atau saudara saya telah menzalimi saya. Dikatakan begitu setelah terlebih dulu mengatakan secara sindiran atau dengan membuat alasan-alasan, tetapi Tuan Mufti masih belum faham. Ketika itu barulah dikatakan dengan terang-terangan.
Hal ini berdasarkan kepada suatu riwayat dari Hindun binti Utbah, bahwasanya ia telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w.: Bahawasanya Abu Sufyan itu (suaminya) adalah seorang yang amat pelokek. Ia tiada memberiku untuk keperluanku dan keperluan anakku dengan secukup-cukupnya. Maka sabda Rasulullah s.a.w.: Ambillah apa yang cukup untuk keperluanmu dan keperluan anakmu secara adil.
Dalam peristiwa di atas, Hindun telah menyatakan kepada Rasulullah s.a.w. tentang kekikiran suaminya dan ketidak-adilannya terhadapa dirinya dan anaknya dalam persoalan nafkah. Nabi tidak melarangnya dari berkata begitu, sebab maksud Hindun ialah bertanyakan hukum.
4. Mengingatkan seseorang Muslim kepada sesuatu kejahatan. Misalnya: Jika anda mengetahui sesorang itu jahat, lalu anda mengingatkan orang lain supaya menjauhkan diri dari orang itu. Ataupun orang yang cuba membuktikan dirinya benar di hadapan pun orang yang diminta fikirannya dalam perkahwinan, lalu ia menyebut keburukan orang yang meminang. Ataupun menyatakan keaiban seseorang, agar amanat tiada diserahkan kepadanya atau seumpamanya dengan menyatakan apa-apa yang diketahuinya dengan benar atas tujuan menasihat, bukan kerana memburuk-burukkan atau menjatuhkan namanya di hadapan orang lain.
5. Bila seseorang itu terkenal dengan sesuatu gelaran atau panggilan yang memang menunjukkan sesuatu kekurangan pada dirinya, seperti mengatakan si fulan yang tempang atau yang buta. Maka dalam hal serupa ini, tiadalah dilarang menyebutkannya, kerana itu mustahak disebutkan supaya orang mengenalinya. Begitu juga sebab panggilan itu sudah menjadi kebiasaan, orang yang berkenaan tidak mungkin marah lagi, kerana ia telah termasyhur dengan gelaran itu. Walau bagaimanapun, sekiranya dapat diubah dengan gelaran lain, atau panggilan yang lebih baik, dan senang pula disebarkan kepada orang ramai, maka itulah yang lebih dan senang pula disebarkan kepada orang ramai, maka itulah yang lebih baik dan utama. Oleh kerana itu pernah orang buta dipanggil dan digelar dengan si celik untuk menghindarkannya dari sifat kekurangan itu.
6. Bila seseorang itu memang sengaja terang-terang membuat kefasikan dan bermegah-megah dengan perbuatan itu, maka terhadap orang ini tidaklah terlarang lagi melemparkan ghibah atau pengumpatan, disebabkan kelakuannya yang menentang itu.
Kaffarah (denda) ghibah
Ketahuilah bahwasanya menjadi wajib atas seseorang pengumpat agar menyatakan sesalan atas kelakuannya yang salah itu, kemudian segera bertaubat dan merasa sedih dan dukacita atas perbuatannya, supaya ia terselamat dari balasan Allah Ta’ala. Sesudah itu hendaklah ia meminta maaf dari orang yang diumpatnya, serta menghalalkan perbuatannya itu, supaya ia terlepas dari dosa ghibahnya. Ini jika ia mampu melakukannya dan tidak takut berlaku sesuatu bahaya.
Al-Hasan berkata: Cukuplah si pengumpat itu beristighfar atau meminta ampun kepada Allah Ta’ala dan tak payah lagi minta dihalalkan perbuatannya dari orang yang diumpatnya itu.
Dalam sebuah Hadis Rasulullah s.a.w. bersabda: “Adakah kamu sekalian tidak mampu berbuat seperti yang dibuat oleh Abu Dhamdham. Selalu bila ia keluar dari rumah, ia berdoa: Ya Allah! Ya Tuhanku! Saksikanlah bahwasanya aku telah mensedekahkan kehormatanku kepada orang ramai.”
Maksudnya, ia tidak akan menuntut balasan atas sesiapa yang melakukan penganiayaan ke atas dirinya di hari Kiamat, dan tidak akan membuat pengaduan lagi ke sana. Dan bukanlah tujuan dari kata-kata Abu Dhandham ini membolehkan seseorang mengumpat orang lain dengan sesuka hati, tetapi maksudnya ialah ia telah memaafkan dosa orang yang mengumpatnya.
Allah telah berfirman: “Berikanlah pengampunan dan suruhlah dengan kebaikan serta hindarkanlah dirimu dari orang yang bodoh itu.” (al-A’raf: 199)
Dalam sebuah hadis pula, disebutkan bahwasanya Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhya Allah Ta’ala memerintahmu, agar engkau memaafkan orang yang menganiyaimu dan menyambung perhubungan dengan orang yang telah memutuskan perhubungan dengan mu, serta memberi orang yang menahan pemberiannya kepadamu.”
Petikan dari KITAB BIMBINGAN MUKMIN - Hujjatul Islam Al Imam Al Ghazali
Kaffarah (denda) ghibah
Ketahuilah bahwasanya menjadi wajib atas seseorang pengumpat agar menyatakan sesalan atas kelakuannya yang salah itu, kemudian segera bertaubat dan merasa sedih dan dukacita atas perbuatannya, supaya ia terselamat dari balasan Allah Ta’ala. Sesudah itu hendaklah ia meminta maaf dari orang yang diumpatnya, serta menghalalkan perbuatannya itu, supaya ia terlepas dari dosa ghibahnya. Ini jika ia mampu melakukannya dan tidak takut berlaku sesuatu bahaya.
Al-Hasan berkata: Cukuplah si pengumpat itu beristighfar atau meminta ampun kepada Allah Ta’ala dan tak payah lagi minta dihalalkan perbuatannya dari orang yang diumpatnya itu.
Dalam sebuah Hadis Rasulullah s.a.w. bersabda: “Adakah kamu sekalian tidak mampu berbuat seperti yang dibuat oleh Abu Dhamdham. Selalu bila ia keluar dari rumah, ia berdoa: Ya Allah! Ya Tuhanku! Saksikanlah bahwasanya aku telah mensedekahkan kehormatanku kepada orang ramai.”
Maksudnya, ia tidak akan menuntut balasan atas sesiapa yang melakukan penganiayaan ke atas dirinya di hari Kiamat, dan tidak akan membuat pengaduan lagi ke sana. Dan bukanlah tujuan dari kata-kata Abu Dhandham ini membolehkan seseorang mengumpat orang lain dengan sesuka hati, tetapi maksudnya ialah ia telah memaafkan dosa orang yang mengumpatnya.
Allah telah berfirman: “Berikanlah pengampunan dan suruhlah dengan kebaikan serta hindarkanlah dirimu dari orang yang bodoh itu.” (al-A’raf: 199)
Dalam sebuah hadis pula, disebutkan bahwasanya Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhya Allah Ta’ala memerintahmu, agar engkau memaafkan orang yang menganiyaimu dan menyambung perhubungan dengan orang yang telah memutuskan perhubungan dengan mu, serta memberi orang yang menahan pemberiannya kepadamu.”
Petikan dari KITAB BIMBINGAN MUKMIN - Hujjatul Islam Al Imam Al Ghazali
No comments:
Post a Comment